Kamis, 03 September 2009

Pendidikan Bahasa Dan Sastra Indonesia

1. PENDAHULUAN : Latar Belakang Intelektual D. Zawawi Imron

K.H. D.zawawi Imron, lahir di desa batang-batang, kabupaten Sumenep, di ujung timur Pulau Madura. K.H. D.Zawawi Imron selain dikenal sebagai sastrawan dan Budayawan, beliau juga pengasuh pesantren. Ia pernah mengajar di Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah Al-Amien, Prenduan, Madura dan di uniiversitas Madura, Pamekasan.

D. Zawawi Imron termasuk salah seorang penyair Indonesia yang paling memukau dalam kesusastraan Indonesia dewasa ini. “Penanya telah menjadi celurit emas” yang secara giat melahirkan mitologi baru terus-menerus. Kadang agak susah menyelami sebagian sajak-sajak beliau, tetapi sebagai pembaca atau pedengar, begitu terseret gelombang baris-baris sajaknya kita seperti terdampar pada dunia nyata baru. Batu ternyata hikmat. Pohon menjadi panji. Madura dalam diri Zawawi mejadi alam raya, (Prof. Dr. M.J. Maier, professor Malay Studies, Universitas Leiden).

Sejak muda, ia senang menulis puisi. Kumpulan puisinya, antara lain; Nenek Moyangku Airmata (memenangkan hadiah yayasan Buku Utama untuk puisi, 1985), Celurit Emas (terpilih sebagai buku puisi terbaik oleh pusat Pembina dan Pengembangan Bahasa,1990), dan Bulan Tertusuk Ilalang (telah mengilhami sutradara Garing Nugroho membuat film dengan judul yang sama), Semerbak Mayang (kumpuln puisi, 1997), Mafura, Akulah Lautmu (kumpulan puisi, 1978), Kujilat Manis Empedu (kumpilan puisi, 2003).

Kami tertarik menganalisis puisi “malam” dalam kumpulan puisi Kujilat Manis Empedu karya D.Zawawi Imron, karena Secara menyeluruh puisi “malam” kaya akan metafora dan simbol. Penulis menunjukkan kepiawaiannya dalam memadupadankan simbol-simbol yang berjauhan sifat dan hakekatnya itu, menjadi sebuah karya yang membuat para pembaca tercengang dengan pesona imaji surealistik yang tercipta. Pembaca yang tidak dapat membaca bentuk simbolik dalam puisi ini akan terganggu dalam memahami sajak, meskipun pembaca tersihir dibuatnya.

2. TEORI DAN METODE

Hermeneutic adalah teori tentang berkerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43), dan palmer (2003: 8) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeneutika mencakup; (1) peristiwa pemahaman terhadap teks, (2) perseolan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeutika adalah “pemahaman terhadap teks”.

Ricoeur (1981: 146) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulian adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Disini terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana , yang di tuliskan dalam hermeneutika Paul Recouer, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme.

2.1 Teori Metafora

Metafora kata Monroe, adalah “puisi dalam miniature”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makan figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit di berlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vocabuleri denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yan merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik. Konotsi terdiri ataas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal. Dengan demikian arti figuratif suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apapun. Karya sastra dibuka oleh saling berpenngaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain verbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur, 1976: 43).

2.2 Teori Simbol

Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan” . symbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricouer merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004: 119).

Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutic (Bleicher, 20003: 376).

3. ANALISIS DAN HASIL PEMBAHASAN

Untuk mencapai tingkat pemaknaan dalam pepuisian D.Zawawi Imron khususnya sajak “ Malam ” dalam kumpulan puisi “ Kujiat Manis Empedu ” karya D. Zawawi Imron ini, kami menganalisis metafora dan simbol yang terdapat di dalamnya. Berikut kajian kami;

Malam

Bulan

dan burung hantu

malam

angin pun beku

antara hitam, kuning, dan biru

semut masih berjalan

di lereng seonggok batu

menuju yang tidak kutahu

aku ingat sebuah surat

tentang kejelian itu :

memandang ke pusat gelap

terang jadi meresap

ketika segugus awan pergi

cahaya bagai beribu benang

yang menghubungkan langit dan bumi

selembar dawai kupanjat

baru beberapa saat kaki kuangkat

ada saran lembut untukku

agar aku mengucap

terima kasih kepada gelap

sesudah itu senyap

sesudah itu ada sesuatu yang lain dari gelap

sesudah itu seperti ada yang hampir lengkap

3.1 METAFORA DALAM SAJAK “ MALAM ”

Judul “Malam” di dalam sajak ini berarti waktu antara matahari terbenam dan matahari terbit yang ditandai dengan gelap. Judul sajak ini sebenarnya bukan sekedar menggambarkan keadaan yang gelap (tidak ada cahaya), tetapi menggambarkan akan waktu paling baik dimana manusia meng-hamba-kan diri kepada Sang Khalik (bermunajat).

(1) Bulan

dan burung hantu

malam

angin pun beku

Bait pertama dalam sajak “ malam “ karya D.Zawawi dalam kumpulan puisi “ Kujilat Manis Empedu “ diatas menggambarkan keadaan malam pada saat itu. Metafora-pernyataan (statement-metaphor) muncul proposisi pada bait pertama, baris ke empat ; “angin pun beku”, disebut metafora-pernyataan (statement-metaphor) karena komposisinya sudah memenuhi syarat sebagai proposisi, yaitu minimal dibangun atas unsur subjek sebagai identifikasi-tunggal (identifikasi-singular) “beku”, unsur predikasi-umum (identifikasi-universal) sebagai predikasi “angin-pun”. Sedangkan “bulan”, “dan “dan burung hantu”, “malam” sebagai atribusi-keterangan waktu.

“ angin pun beku “ menggabungkan dua dunia yang berbeda (difference) yang absurditas dalam keserupaan (resemblance). “ angin “ merupakan udara (gas) yang dapat bergerak dari suatu tempat ke tempat lain di daerah terbuka. Sedangkan “ beku “ biasanya berupa zat cair yang menjadi padat dan keras (es ). Keabsurditasan kalimat-metaforis “angin pun beku ” menyiratkan suatu keadaan yang sangat dingin.

Dengan demikian, sense bait pertama ini mewacanakan tentang keadaan malam yang sangat dingin.

(2) antara hitam, kuning, dan biru

semut masih berjalan

di lereng seonggok batu

Bait kedua diatas, menunjukkan metafora-kata (word-metaphor) “semut masih berjalan” sebagai figurasi ornamental, yang oleh Recouer disebut juga dengan metafora mati atau metafora inventif (Recouer,1976; 43), yaitu metafora yang tidak menciptakan perluasan makna tambahan (surplus meaning). “di lereng seonggok batu” berfungsi sebagai atribusi-keterangan tempat. “antara hitam, kuning, dan biru” sebagai atribusi-keterangan waktu.

“antara hitam, kuning, dan biru” menyatakan, warna gelap ( hitam atau malam), warna keemasan ( kuning atau sore dan fajar), warna langit saat terang ( biru atau siang). “semut masih berjalan//di lereng seonggok batu” mewacanakan semut sedang melakukan kegiatan (berjalan atau melakukan perjalanan) di lereng batu.

(3) aku ingat sebuah surat

tentang kejelian itu:

memandang ke pusat gelap (memandang ke titik gelap)

terang jadi meresap (cahaya yang sangat terang )

Bait ketiga di atas, tidak ditemukan adanya metafora-pernyataan. Bait diatas berfungsi sebagai atribut-penjelasan atas keadaan yang terdapat di bait sebelumnya “aku ingat sebuah surat//tentang kejelian itu” dimaksudkan sebagai kalam Allah yang menceritakan perjalanan “semut”. Membuat “aku-lirik”, “memandang ke pusat gelap atau tengah malam”, sedangkan “terang jadi meresap” menggambarkan suatu keadaan yang “sangat terang”.

Dengan demikian, sense bait diatas mewacakan tentang keadaan “aku-lirik” yang “memandang ke pusat gelap//terang jadi meresap”, maksudnya ialah “aku-lirik” memperoleh petujuk saat mengingat kalam Allah di tengah malam.

(4) cahaya bagai beribu benang

Yang menghubungkan langit dan bumi

Kedua baris, bait diatas adalah penjelasan terhadap konsep “pandang” yang bersifat perbandingan. Konsep perbandingan ini menurut Recoeur (1976: 45) adalah perspektif metafora zaman klasik yang menganggap metafora sebagai penerapan kepada suatu benda nama yang termasuk sesuatu yang lain. Konsep perbandingan ini tidak bisa menjelaskan makna dalam hubungannya dengan tuturan (wacana) karena ketegangan hanya terjadi pada level semantik.

Dalam kasus ini, metafora-kata (word-metaphor) terjadi pada “cahaya bagai beribu benang”. “cahaya” sebagai sifat hakiki “penerang”, dan “benang” sebagai sifat hakiki “barang hasip pintalan kapas atau tali yang tipis dipersepsisikan sebagai realitas yang berbeda dan berjauhan. “cahaya” adalah nature sedangkan “benang” adalah produk. Hal ini mengindikasikan bahwa hakikat yang dibawa cahaya adalah benang. Oleh karena itu, konsep perbandingan pada bait keempat baris kedua adalah ingin mempersepsi “penghubung”. Implikasi “cahaya” sebagai “penghubung” terlihat di baris terakhir yang merupakan sikap “kalam Tuhan” atas “cahaya” sebagai “penghubung”.

(5) selembar dawai kupanjat

baru beberapa saat kaki kuangkat

ada saran lembut untukku

agar aku mengucap

terima kasih kepada gelap

“ Selembar dawai kupanjat “ pada bait kelima, baris pertama sajak diatas merupakan metafora-kata (word-metaphor ) fungsinya sebagai ornamental-dekoratif, yang oleh Recoeur disebut juga dengan metafora mati atau metafora inventif (Recoeur, 1976: 43), yaitu metafora yang tidak menciptakan perluasan makna tambah (surplus meaning. “Kata selembar” menjadi penyerupa (resemblance) yang menciptakan ketegangan (tension) antara “selembar” dan “dawai” yang sebenarnya menunjuk pada realitas yang kontradiktif . “selembar” biasanya digunakan untuk selembar kertas, sedangkan “dawai” bentuk suatu alat (senar atau gitar). Hal ini mengindikasikan bahwa penafsiran harfiah menjadi tidak terpahami (nonsens) karena penggabungan keduanya telah membuat tuturan metaforis menjadi absurditas.

Interpretasi metaforis di atas harus ditingkatkan lagi pada proses destruksi diri (penghancuran arti harfiah) dengan suatu perluasan makna yang dapat dipahami (make sense). Hal ini yang menurut Ricouer metafora menciptakan makna tambah (surplus meaning). Arti aktual “ selembar” dan “dawai” dapat dimaknai dalam konteks kalimat (wacana) yang dibangun. Dalam hal ini, “selembar dawai” alat atau sarana yang digunakan oleh “aku-lirik” untuk mendekatkan diri dengan Sang Khalik.

(6) sesudah itu senyap

sesudah itu ada yang lain dari gelap

sesudah itu seperti ada yang hampir lengkap

Dait terakhir di atas tidak ditemukan adanya metafora-pernyataan (statement-mataphor). Ketiga baris di atas berperan sebagai atribusi-penjelas atas “malam”. Dengan demikia reference sajak “malam” ini mengungkapkan nilai-nilai kelebihan yang terdapat dalam suatu keadaan (malam), untuk “aku-lirik” dalam mendekatkan diri pada Sang Khalik. Sang Khalik diposisikan “aku-lirik” sebagai cahaya yang memberi pencerahan.

3.2 SIMBOL DALAM SAJAK “ MALAM “

.

Simbol “malam” dalam sajak ini bukan sekedar suatu keadaan yang gelap tanpa cahaya, karena tidak ada matahari yang menyinari. Simbol “malam” ini memaparkan akan keutamaan-keutaman (kelebihan) yang dimiliki oleh suatu keadaan (malam). Dalam jiwa spiritual yang dimiliki “aku-lirik”, sadar dan meyakini akan kelebihan yang dimiliki malam. Hal ini didasarkan pada hadist Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan dari Abu Hurairah rahimahullaah :

Allah akan turun dari langit bumi pada setiap malam, ketika malam tinggal sepertiga yang terakhir. Dia, berkata, ‘ mana hamba-ku yang berdoa, untuk aku kabulkan (doanya) ? Mana hamba-ku yang meminta kepada-ku, untuk aku penuhi (permintaannya) ? Mana Hambaku yang beristigfar, untuk aku ampuni (dosanya) ?. “ (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Berikut pemaknaan menyeluruh terhadap simbol yang ada dalam sajak “malam” menurut kami;

(1) bulan

dan burung hantu

malam

angin pun beku

Bait diatas menggambarkan keadaan malam, yang ditandai dengan adanya “bulan” “burung hantu” dan dinginnya angin malam yang digambarkan. Karena, malam itu sendiri biasanya ditandai dengan adanya bulan (sebagai penerang).

(2) antara hitam, kuning, dan biru

semut masih berjalan

di lereng seonggok batu

menuju yang tidak kutahu

Pada bait kedua baris pertama ini, penulis menggunakan simbol “hitam, kuning, biru” (warna) untuk menggambarkan keadaan langit. Artinya; simbol “hitam” digunakan penyair untuk menggambarkan keadaan saat malam, simbol “kuning” digunakan pengarang untuk menggambarkan saat sore hari dan fajar, karena pada saat ini langit berwarna kuning keemasan, sedangkan simbol “biru” digunakan untuk menggambarkan keadaan langit saat cerah (siang hari). Kemudian baris selanjutnya digambarkan adanya semut yang sedang berjalan menuju kesuatu tempat yang tidak diketahui oleh “aku-lirik”.

(3) aku ingat sebuah surat

tentang kejelian itu:

memandang kepusat gelap

terang jadi meresap

Pada baris pertama dan kedua bait ini masih meneruskan penjelasan terhadap bait sebelumnya. Surat yang dimaksud dalam sajak ini, menurut kami ialah surat An Naml (semut ). Di dalam surat An Naml, ayat 18:

“…..

Di lembah semut, semut berkata pada semut lain; hai semut-semut, masuklah kedalam sarang-sarangmu, agar kamu tidak diinjak oleh sulaiman dan tentaranya, sedangkan mereka tidak menyadari ” (Q.S; An Naml, 18).

Nabi Sulaiman tersenyum dan tertawa mendengar perkataan semut itu. Nabi Sulaiman pun berdoa dan mensyukuri atas segala nikmat yang telah diberikan oleh Sang Khalik kepadanya. Maha Suci Allah, hal ini sesuai dengan pernyataan “ Dan apabila hamba-hambaku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasannya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa apabila ia berdoa kepada-Ku ” (Al-Baqoroh ;186) “ .

Waktu paling khusuk untuk bermunajat ialah saat tengah malam. “memandang ke pusat gelap//terang jadi meresap” hal ini sesuai dengan Q.S; Al Muzzammil, ayat 6 : “sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusuk) dan bacaan di waktu itu lebih berkesan “ maksudnya waktu paling baik saat bermunajat kepada Sang Khalik ialah saat tengah malam (Qiyaamul Lail), karena saat siang hari manusia disibukkan dengan urusan yang banyak.

(4) ketika segugus awan pergi

cahaya bagai beribu benang

yang menghubungkan langit dan bumi

Simbol “segugus awan” disini dipresentasikan “aku-lirik” yang sedang dirundung masalah, kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, atau ketakutan karena menghadapi berbagai kemungkinan buruk yang menimpanya, sedangkan simbol “cahaya” yang digunakan penulis pada bait diatas bermakna petunjuk dari Sang Khalik. Dalam tradisi mistisisme islam yang terdapat dalam buku “mistisisme cahaya” karya Heru Kurniawan, simbol cahaya ini dipresentasikan Dzat Tuhan. Hal ini didasarkan pada Q.S. An-Nur: 35, artinya “Tuhan adalah cahaya langit dan bumi”. “ cahaya bagai beribu benang//yang menghubungkan langit dan bumi” maksudnya sesuai dengan Q.S; al-hadiid, 4.

Dia mengetahui apa yan masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar dari padanya dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya (naiknya amalan-amalan dan doa-doa hamba)”.

Makna keseluruhan bait diatas ialah “aku-lirik” yang sedang dirundung masalah, kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, atau ketakutan karena menghadapi berbagai kemungkinan buruk yang menimpanya telah pergi (dapat diselesaikan) setelah “aku-lirik” mendapat petunjuk dari Sang Khalik, hal ini berarti doa yang dipanjatkan diterima-Nya (naiknya amalan-amalan dan doa-doa).

(5) selembar dawai kupanjat

baru beberapa saat kaki kuangkat

ada saran lembut untukku

agar aku mengucap

terima kasih kepada gelap

Simbol “ selembar dawai” yang dipanjat “aku-lirik” diasumsikan sebagai doa yang dipanjatkan. Saat “aku-lirik” bermunajat ada saran lembut dari Sang khalik agar berterima kasih (bersyukur) kepada gelap (malam). Seperti yang kami jelaskan tadi bahwa, melakukan shalat malam (Qiyaamul Lail) merupakan waktu yang baik untuk bermunajat (dengan khusyuk).

(6) sesudah itu senyap

sesudah itu ada yang lain dari gelap

sesudah itu seperti ada yang hampir lengkap

Makna keseluruhan dari bait terakhir diatas ialah, Ketenangan dan ketenteraman yang diperoleh “aku-lirik” yang melakukan Shalat Malam (Qiyaamul Lail) , memiliki nilai spiritual yang sangat tinggi. Sebab dalam shalat tahajud terdapat dimensi dzikrullah (mengingat Allah). Allah SWT berfirman: ”(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. (Q.S; Ar-Ra’d, 28). Dalam hal ini terdapat rumusan hukum sebab-akibat (kausalitas): Bila kita ingin mendapatkan rasa tenang dan tenteram, maka dekatlah dengan Dia Yang Mahatenang dan Mahatenteram, agar sifat-sifat itu mengimbas kepada kita.

4. KESIMPULAN

Mistisisme cahaya malam pada sajak “malam” diungkapkan lewat kesadaran transendental “aku-lirik” terhadap Tuhan. Kesadaran trandensi “aku-lirik” bermula dari penghayatannya tentang nilai-nilai keutamaan dalam mendekatkan diri kepada Sang Khalik yang dimiliki malam.

Dalam hal ini, “aku-lirik” diselimuti awan (dirundung masalah; kegelisahan, kecemasan, kekhawatiran, atau ketakutan), yang membuatnya kemudian mendekat kepada Sang Khalik. Cahaya disini dipahami sebagai petunjuk Tuhan yang membuat qolbu “aku-lirik” mengalami pencerahan.

Oleh karena itu, jalan spiritual yang dilalui oleh “aku-lirik” berawal dari “aku-lirik” diselimuti awan, sebelum akhirnya mengingat keutamaan yang dimiliki malam. Hal ini, menunjukkan bahwa “aku-lirik” adalah hamba yang didera qolbunya dengan berbagai permasalahan, pada akhirnya “aku-lirik” menemukan saat-saat menentramkan qolbu-nya dengan mendekatkan diri kepada sang Khalik di waktu malam.

Analisis Simbol dan Metafora dalam Sajak “Malam” Karya D.Zawawi Imron

Dosen Pengampu: Abdul Wachid B.S

Disusun Oleh :

Ayu Yuliana 07003145

Tyas Windiarti 07003152

Salfi Feridoni 07003157

Syafiqul Latif 07003158

Dwi Asih Yuliana 07003164

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS AHMAD DAHLAN

YOGYAKARTA

2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar