Kamis, 10 September 2009

Agama, Hermeneutik, dan Keadilan

Agama, Hermeneutik, dan Keadilan

04-May-2007

Pada dasarnya ayat-ayat al-Quran (teks agama) mencerminkan adanya perjumpaan dan pergulatan dengan realitas sosial masyarakat pada saat diturunkan. Al-Quran sebagai firman Allah yang didokumentasi dalam bentuk teks diproduksi oleh sebab dan peristiwa, yang dalam ‘Ulum al-Quran disebut sebagai asbab an-nuzul. Terkait dengan hal itu, Abdullahi Ahmed an-Na’im membedakan antara ayat-ayat yang diturunkan pada periode Mekkah dan Madinah. Menurut an-Na’im ayat-ayat pada periode Mekah mengandung gagasan kemanusiaan universal yang tidak terikat dan terbatasi identitas agama (2001). Sedangkan ayat-ayat yang diturunkan di periode Madinah bersifat sebaliknya. Maksudnya perbedaan karakter ayat-ayat tersebut disebabkan oleh konteks sosial yang berbeda.

Kultural dan Historis
Teks agama tidak muncul di ruang hampa, melainkan di ruang yang penuh masalah. Oleh sebab itu, teks agama terkonstruksi secara kultural dan terstruktur secara historis. Jika pembacaan terhadapnya dilepas dari konteks sosial budaya yang mengonstruknya, maka makna yang dikandungnya akan menjadi asing dan kehilangan relevansinya. Oleh karena itu, konsekuensinya makna yang dikandung teks dinamis, tidak berlaku sepanjang zaman dan seluruh tempat. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa teks agama terkurung dalam ruang dan waktu.

Untuk dapat menangkap dan memahami maknanya, sejatinya penafsir membaca konteksnya. Perspektif semacam ini ditawarkan oleh hermeneutika. Hermeneutika bisa didefinisikan sebagai ilmu yang berupaya menggambarkan bagaimana sebuah kata, teks, atau kejadian dalam waktu lampau dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam situasi sekarang (Farid Essack, 2000: 83). Hermeneutika bertugas menjembatani jurang antara masa lalu dan masa kini. Maksudnya agar makna teks akibat dinamika dan perubahan situasi dapat tetap terjaga relevansinya.

Selain itu dalam perspektif hermeneutika, teks tidak berdiri sendiri. Ada relasi yang erat antara proses pewahyuan, bahasa, isi, dan komunitas yang mengonsumsi teks, sehingga teks lahir dari sebuah pergumulan sengit dengan problem komunitas tertentu. Oleh karena itu, sebenarnya teks tidak bersifat universal. Teks merepresentasikan cita rasa budaya komunitas tertentu, sebagaimana dapat dirasakan kuatnya aroma budaya Arab dalam al-Quran.

Perspektif hermeneutik senantiasa melihat bahwa agama tidak muncul di ruang hampa. Kemunculan agama merupakan respon terhadap konstruk sosial yang menindas kelompok tertentu, sebagaimana dapat disaksikan dalam gugatan agama yang dibawa oleh Nabi Ibrahim, Musa, dan Muhammad. Karena itu, teks agama diproduksi sesuai dengan raison d’etre agama itu sendiri, yaitu sebagai kritik atau gugatan terhadap penindasan dan ketidakadilan. Semangat yang dikandung teks agama pada prinsipnya membangunkan kesadaran masyarakat tertindas untuk melakukan resistensi dan memperjuangkan keadilan. Dalam tafsir hermeneutik yang progresif, Islam dilihat dalam semangat resistensi universal yang dikemas dalam lokalitas kearaban. Terma Islam sendiri berasal dari bahasa Arab. Namun begitu, gugatan dan perlawanan terhadap penindasan merupakan semangat universal yang menjadi keinginan dasar masyarakat dunia.

Kontekstualisasi
Berkaitan dengan hal ini Moeslim Abdurrahman, cendekiawan Muslim, menegaskan bahwa pembacaan kembali teks agama yang diproduksi di masa lalu harus disertai dengan pembacaan konteks sosial sekarang (2003: 193). Bahkan menurutnya pembacaan teks tersebut harus diawali dengan pembacaan konteks sosialnya. Dengan begitu makna teks yang responsif baru ditemukan.

Penggabungan hermeneutika sosial dengan hermeneutika teks adalah kuncinya. Intelektual Muslim Indonesia menurut Moeslim kurang menggunakan hermeneutika sosial, sehingga tidak bisa menemukan makna baru yang responsif dan memihak kepada kaum yang termarjinalkan oleh perubahan sosial.

Disinilah urgensi tawaran mendialogkan teks agama dengan makna zaman, yakni untuk menemukan relevansi al-Quran dalam perjuangan membebaskan kaum tertindas. Dengan cara itu metode hermeneutika melibatkan al-Quran dan teladan Nabi Muhammad Saw dalam refleksi teologis demi praksis pembebasan dan memosisikan agama sebagai ideologi yang memperjuangkan keadilan sosial.(CMM/M Hilaly Basya)

1 komentar:

  1. 'Hermenetika' adalah semacam kacamata sudut pandang manusia yang biasa digunakan untuk ‘menyaring’ penafsiran manusia terhadap kitab suci agar hasilnya bersesuaian dengan kacamata sudut pandang sang penggagas,yang biasanya mengacu pada prinsip agar ‘bersesuaian dengan parameter ke kini an,misal bersesuaian dengan prinsip kacamata sudut pandang ‘modernisme’ atau yang lainnya. dengan kata lain secara halus sang penggagas sebenarnya ingin mendoktrin atau mengendalikan cara berfikir manusia agar cara pemahaman manusia terhadap agama mengikuti bingkai pemahamannya. Sang penggagas (hermenetika) juga menerapkan beragam syarat ‘ilmiah’ yang ketat sebelum orang mendefinisikan agama sebagai ‘kebenaran’ yang diyakini secara mutlak,sang penggagas (bisa saja) ingin agar manusia ‘meragukan apa yang selama ini diyakininya’ karena ‘kondisi dan keadaan dianggap sudah berbeda dengan saat kitab suci diturunkan’,maka karena itu sang penggagas menyiapkan ‘cara pemahaman baru’.
    Dengan kata lain bila kita menggunakan kacamata penggagas hermenetika dalam cara menafsirkan atau mendeskripsikan agama maka bisa jadi kita sebenarnya (sadar atau tidak ) sedang digiring (atau di doktrin ?) untuk memahami sesuatu berdasar kacamata sudut pandang penggagas,sehingga bisa jadi kita tidak lagi bebas menggunakan hati nurani dan akal fikiran kita dalam menafsirkan kebenaran agama.
    Tapi jangan lupa bahwa konsep kebenaran mutlak (yang menjadi konstruksi agama) adalah konsep kebenaran yang bersifat hakiki dan abadi tak bisa diubah oleh manusia,dan konsep demikian hanya bisa dibaca oleh orang yang memiliki hati nurani (ruhani) dan akal yang jernih-kuat dan cerdas.jadi yang tak bisa dikutak katik atau diubah penggagas hermenetika adalah essensi.
    Dan penafsiran terhadap kitab suci sebenarnya lebih bergantung pada niat hati manusia,bila niat untuk tunduk dan patuh pada Tuhan tentu,hasilnya pasti akan lain dengan bila menafsirkan kitab suci dengan tujuan hanya untuk berwacana,beropini atau berdebat semata.
    Tanpa kacamata baca ala ‘hermenetika’ sekalipun sebenarnya manusia secara alami sudah diberi atau dibekali Tuhan hati dan akal sebagai alat untuk menangkap-memahami serta mengelola kitab suci,bila melihat dengan kacamata 'nurani' dan akal yang bersih (murni tidak didoktrin oleh manusia) pasti beda dengan bila menggunakan doktrin ‘saringan’ yang dibuat oleh manusia.
    Hati nurani yang tulus menangkap maksud-pesan Tuhan secara tepat-autentik sebagaimana aslinya seperti pesawat televisi menangkap siaran stasion pemancar,karena untuk maksud itulah Tuhan menciptakan hati. (inilah yang sering ‘dipermasalahkan penggagas hermenetik,mereka seperti tidak memahami dan tidak menghayati peran hati,karena sebagian penggagas terlalu sering bermain di wilayah ‘otak’ dalam mengkaji agama).

    BalasHapus