Kamis, 10 September 2009

KAJIAN HERMENEUTIKA PAUL RICOEUR DALAM KUMPULAN SAJAK RUMAH CAHAYA KARYA ABDUL WACHID B.S.

1. PENGANTAR

1.1 Latar Belakang

Puisi adalah karya seni sastra, yang menurut Rene Wallek dan Warren di artikan sebagai salah satu bentuk karya sastra (1968, hlm 25). Hakekat puisi tidak terletak pada bentuk formalnya meskipun bentuk formalnya itu penting. Hakekat puisi adalah apa yang menyebabkan puisi itu disebut puisi. Puisi modern tidak terikat pada bentuk formal tetapi disebut puisi juga.1 Salah satu penyair yang gaya perpuisianya modern adalah Abdul Wachid BS.

Abdul Wachid BS., lahir di dusun terpencil Bluluk, Lamongan, Jawa Timur, 7 Oktober 1966. Dia merupakan putra pertama dari empat bersaudara. Ibunya (Siti Herawati) binti Muhamad Usmuni), dan Ayahnya (Muhamad Abdul Basyir bin Masyhuri Wiryo Sumarto) seorang pedagang, guru dan ketua yayasan di sebuah madrasah (Miftahul Amal).

Abdul Wachid, B.S. Memulai pendidikan di SDN Bluluk I, Setelah lulus melanjutkan di SMP Negeri I Babat yang merupakan kota terdekat dari kampungnya. Setelah lulus melanjutkan studi di SMA Negeri Argomulyo Yogyakarta. Pernah kuliah rangkap di Fak. Hukum Universitas Cokroaminoto Yogyakarta (1985-1987), dan pada jurusan Sastra Indonesia Fak. Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (lulus). Di UGM pula dia menyelesaikan S-2 Program Studi Sastra Indonesia. Sejak muda, ia senang menulis, terbukti dari banyaknya sajak yang telah dia tulis. Sajak-sajaknya terkumpul dalam buku kumpulan puisi seperti Ijinkan Aku Mencintaimu (2002), Tunjammu Kekasih (2003), Beribu Rindu Kekasihku (2004), dan kumpulan puisi Rumah Cahaya (2005)-2.

Ketertarikan penganalisisan Sajak dalam kumpulan puisi Rumah Cahaya karya Abdul Wachid, B.S. dikarenakan Secara menyeluruh sajak-sajak di dalamnya kaya akan metafora dan simbol. Penulis menunjukkan kepiawaiannya dalam memadupadankan simbol-simbol yang berjauhan sifat dan hakekatnya itu, menjadi sebuah karya yang membuat para pembaca tercengang dengan pesona kesufian yang tercipta. Puisi-puisi Abdul Wachid BS., dikategorikan sebagai pelopor puisi sufi periode tahun 1980-an sampai 1990-an (Aprinus Salam, 2004: 19)-3. Dan menimbulkan keingin tahuan para pembaca untuk meneliti sasak-sajak dalam kumpulan puisi “Rumah cahaya”.dengan menggunakan teori Hermeneutika Paul Ricoeur.

1.2 Rumusan Masalah

Dari latar belakang diatas dapat diambil rumusan bagaimana metafora dalam kumpulan sajak Rumah Cahaya bagaimana memaknai simbol “burung” dalam sajak Burungkarya Abdul Wchid BS. Penelitian ini menggunakan teori secara hermeneutika Paul Ricoeur. Hermeneutika digunakan sebagai teori untuk mengungkap konsep “burung” yang terepresentasikan dalam kumpulan puisi Rumah Cahaya.

1.3 Tujuan Penelitian

Pembacaan hermeneutik dalam kumpulan sajak Rumah Cahaya ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami makna yang terkandung didalamnya. Dari penelitian ini diharapkan pembaca dapat lebih mudah untuk memahami dan menafsirkan secara metafora dan simbol pada sajak serta mengetahui secara tepat makna yang dimaksud oleh penyair Abdul Wachid BS.

2. TEORI DAN METODE PENELITIAN

2.1 Teori Hermeneutika Paul Ricoeur

Hermeneutika adalah teori tentang berkerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks (Ricoeur, 1981: 43), dan palmer (2003: 8) menjelaskan bahwa dua fokus dalam kajian hermeneutika mencakup; (1) peristiwa pemahaman terhadap teks, (2) perseolan yang lebih mengarah mengenai pemahaman dan interpretasi. Hal ini memperlihatkan bahwa gagasan utama dalam hermeutika adalah “pemahaman terhadap teks”.

Ricoeur (1981: 146) menjelaskan bahwa teks adalah sebuah wacana yang dibakukan lewat bahasa. Apa yang dibakukan oleh tulian adalah wacana yang dapat diucapkan, tetapi wacana ditulis karena tidak diucapkan. Disini terlihat bahwa teks merupakan wacana yang disampaikan dengan tulisan. Jadi, teks sebagai wacana , yang di tuliskan dalam hermeneutika Paul Recouer, berdiri secara otonom, bukan merupakan turunan dari bahasa lisan, seperti yang dipahami oleh strukturalisme.

2.2 Teori Metafora

Metafora kata Monroe, adalah “puisi dalam miniature”. Metafora menghubungkan makna harfiah dengan makan figuratif dalam karya sastra. Dalam hal ini, karya sastra merupakan karya wacana yang menyatukan makna eksplisit dan implisit. Dalam tradisi positivisme logis, perbedaan antara makna eksplisit dan implisit di berlakukan dalam perbedaan antara bahasa kognitif dan emotif, yang kemudian dialihkan menjadi perbedaan menjadi vocabuleri denotasi dan konotasi. Denotasi dianggap sebagai makna kognitif yan merupakan tatanan semantik, sedangkan konotasi adalah ekstra-semantik. Konotsi terdiri ataas seruan-seruan emotif yang terjadi serentak yang nilai kognitifnya dangkal.

Dengan demikian arti figuratif suatu teks harus dilihat sebagai hilangnya makna kognitif apapun. Karya sastra dibuka oleh saling berpenngaruhnya makna-makna ini, yang memusatkan analisisnya pada desain verbal, yaitu karya wacana yang menghasilkan ambiguitas semantik yang mencirikan suatu karya sastra. Karya wacana inilah yang dapat dilihat dalam miniatur dalam metafora (Ricoeur, 1976: 43).

2.3 Teori Simbol

Kata “simbol” yang berasal dari kata Yunani sumballo berarti “menghubungkan atau menggabungkan” . symbol merupakan suatu tanda, tetapi tidak setiap tanda adalah simbol. Simbol yang berstruktur polisemik adalah ekspresi yang mengkomunikasikan banyak arti. Bagi Ricoeur, yang menandai suatu tanda sebagai simbol adalah arti gandanya atau intensionalitas arti gandanya. Ricouer merumuskan bahwa setiap struktur pengertian adalah suatu arti langsung primer, harfiah, yang menunjukkan arti lain yang bersifat tidak langsung sekunder, figuratif yang tidak dapat dipahami selain lewat arti pertama (Poespoprodjo, 2004: 119).

Ricouer mendefinisikan simbol sebagai struktur penandaan yang di dalamnya ada sebuah makna langsung, pokok atau literer menunjuk kepada makna tambahan, makna lain yang tidak langsung, sekunder dan figuratif yang dapat dipahami hanya melalui yang pertama. Pembebasan ekspresi dengan sebuah makna ganda ini mengatakan dengan tepat wilayah hermeneutic (Bleicher, 20003: 376).4

2.4 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan sumber yang berdasarkan Al-Quran untuk mengarah pada penjelasan deskriptif dan interpretasi sebagai ciri khas penelitian kualitatif. penelitian kualitatif adalah penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek penelitian secara holistic dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa , pada suatu kontek khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah (Kurniawan, 2009:31). Metode teoritis yang digunakan dalam penelitian adalah teori metafora dan simbol dalam hermeneuika (Paul Ricoeur).

Tahap penelitian yang akan dilakukan dalam penelitian ini sebagai berikut :

1. Pembacaan terhadap objek penelitian.

2. Pemilihan sampel sebagai data penelitian, yaitu sajak yang mengandung metafora dan simbol “burung” sebagai subjek penelitian.

3. Pengumpulan data tambahan yang mendukung penelitiani. oleh karena penelitian kualitatif, maka data utamanya adalah kata-kata atau bahasa (kurniawan, 2009 :31 ), data pendukungnya yaitu buku yang mendukung penelitian ini..

4. Melakukan analisis secara cermat terhadap metafora dan simbol “burung” yang terdapat dalam sajak-sajak yang dijadikan sampel penelitian dengan menggunakan teori hermeneutika (Ricoeur, via, Kurniawan, 2009:31). langkah kerja analisisnya mencakup : Pertama, langkah objektif ( penjelasan), yaitu menganalisis dan mendiskripsikan aspek semantik pada metafora dan simbol berdasarkan pada tataran lingistiknya. Kedua, langkah-langkah refleksi (pemahaman) yaitu menghubungkan dunia objektif teks dengan dunia yang diacu (reference), yang pada aspek simbolnya bersifat non linguistik. langkah ini mendekati tingkat antologis. Ketiga, langkah filosofis, yaitu berpikir denga mengunakan metafora dan simbol sebagai titik tolaknya. Langkah ini disebut juga dengan langkah eksistensial atau antologi, keberadaan makna itu sendiri.

5. Merumuskan kesimpulan.

3. ANALISIS SAJAK

Untuk mencapai tingkat pemaknaan dalam pepuisian Abdul Wachid BS., dalam kumpulan puisi “ Rumah Cahaya ” penulis menganalisis metafora dan simbol yang terdapat di dalamnya. Dan sajak yang di analisis di ambil secara acak terkait dengan kesamaan makna-makna yang ada sebagai pendukung dari penganalisisan. Sajak “Burung” merupakan sajak yang digunakan sebagai dasar analisis dan merupakan acuan pembanding dengan sajak-sajak lain dalam kumpulan puisi ”Rumah Cahaya”.

3.1 Sajak “Burung” 5

BURUNG

Sebagai burung

Aku pun rela

Kau sangkarkan dan kau tenggerkan.

Di atap

Rumah.

Atau di ketinggian.

Sebatang bambu

Atau di dahan

Hatimu.

Sebab ada yang lebih kekal

Dari kebebasan yang fana

3.2 Analisis Simbol Burung Dalam Sajak “Burung”

Simbol burung pada sajak “Burung” muncul pada bait pertama. Simbol ini menjadi kerangka dasar kesadaran transcendental “Aku-lirik”. Dari keempat bait sajak “Burung”, simbol “Burung” menduduki peristiwa yang utama karena isi baris-baris selanjutnya merupakan penjelasan dan jawaban atas makna filosofi simbol “Burung”. Dalam analisis metafora yang telah dilakukan, “Burung” menunjukan suatu ketegangan kata (word metaphor). Akan tetapi jika diterapkan menggunakan perspektif hermeneutika Ricoeur, ketegangan “Burung” justru pada aspek kalimat (statement metaphor), sebagai dialektika antara peristiwa dengan makna (wacana). Selain sebagai metafora, ”Burung” pada tataran lebih, dapat diposisikan sebagai simbol yang mengungkapkan makna sajak yang sebenarnya secara menyeluruh seperti maksut pengarang dalam menulis sajak ini.

Simbol “Burung” pada sajak “Burung” menduduki sebagai subjek pokok yang menjadi kunci dari penganalisisan sajak. “Burung” pada hakekatnya merupakan hewan unggas yang bisa terbang dan hidup namun tidak mempunyai akal seperti manusia, hanya saja mempunyai insting sebagai hewan mestinya. Pemaknaan simbol di operasikan pada tataran nonsematis, yaitu menyangkut kepercayaan religi (Aku-lirik) yang mengakui sebagai hamba Allah dan dia selalu bertawakkal, berserah diri dan mematuhi printah dan laranganya.

Makna “Burung” menurut pandangan penyair mengambil dasar-dasar islam sebagai kepercayaan religi, diartikan sebagai “jiwa” manusia sebagai hamba Allah. Simbol yang mempunyai interpretasi “jiwa” sebagai hamba Allah juga muncul pada beberapa sajak lain dalam kumpulan puisi “Rumah Cahaya” seperti pada sajak “Diam Mawar” pada baris ke 5, 6 dan 7 yaitu

mawar bersujud

biarkan aku tinggal diam

diutuhkan cintamu

6

mawar disini adalah “jiwa” manusia sebagai hamba Allah yang bersujud. Kemudian pada sajak lain seperti dalam sajak “Darah Kasidah” dalam kata “dari burung-burung yang enggan terbang”, sajak “Kami Datang Padamu” pada kalimat “kamilah semut itu ya rabbi” , “Kasidah Ismail Untuk Ibrahim” dan masih banyak sajak lain yang mengungkapkan “Aku-lirik” sebagai “jiwa” manusia sebagai hamba Allah. Hamba Allah pada hakehatnya adalah manusia yang di cipta karena Allah, kehidupan manusia berdasar kehendak Allah, maka manusia harus taat perintah dan menjauhi larangannya. Seperti dalam surat An-Nas (Manusia) pada ayat 1, 2 dan 3 mengandung arti yang memerintah manusia untuk berlindung kepada tuhan, yang merajai seluruh manusia dan menjadi tuhan sesembahan manusia. Pada surat Al-Imran juga menjelaskan perintah manusia untuk menyembah hanya kepada Allah. “Cukuplah Allah menjadi penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik pelindung” (Al-Imron (3):173).7 Konsep “Aku-lirik” sebagai “Hamba Allah” juga di ungkapkan oleh Pujiharto dalam Kedaulatan Rakyat, edisi Minggu 2 juli 1995, halaman 8, yang terkutip dalam buku mistisisme cahaya.

Dengan demikian simbol “Burung” pada sajak “Burung” setelah diteliti merepresentasikan pada makna kesadaran “Aku-lirik” menjadi seorang hamba alloh. Karena telah diciptakan dan terlahir di dunia, maka tindakan “Aku-lirik” selanjutnya adalah berserah diri pada Allah dengan menjalankan perintah dan menjauhi larangannya dengan harapan kehidupan kekal yang bahagia.

3.3 Analisis Metafora Sajak “Burung”

Judul pada sajak “Burung” merupakan sebuah kata yang mempunyai makna jelas. “Burung” merupakan hewan unggas yang bisa terbang dan hidup. Konsep metafora kata (wold-metaphor) muncul karena kata “burung” menghadirkan makna yang berbeda yaitu ”Aku-lirik” sebagai burung. “Burung” merujuk pada arti yang lain sebagai diri, diri yang terbang kesana kemari tak menentu dan berserah diri namun kehidupan burung ada dalam sangkar, jadi kehidupan terbatas dalam sangkarnya dan tergantung yang memelihara burung.

Apa maksud dari judul “Burung” dapat diungkap makna sence dan reference setelah menganalisis isi sajak sebagai wacana. Dengan mengetahui konsep judulnya, maka gambaran terhadap wacana yang akan digambarkan dalam sajak bisa dijadikan sebagai pijakan atau kunci untuk menganalisisnya.

(1) Sebagai burung

Aku pun rela

Kau sangkarkan dan kau tenggerkan

...

Baris 1, 2 dan 3 pada bait pertama di atas mengungkapkan kesadaran “Aku-lirik” bahwa dirinya merupakan burung (seperti burung). Burung yang rela dan pasrah disangkarkan dan ditenggerkan oleh yang mempunyainya. Khalayaknya burung merupakan hewan yang tidak mempunyai kemampuan untuk menulis dan berkarya, hal itu merupakan kegiatan dan kemampuan yang dimiliki manusia. Metafora-pernyataan (statement-metaphor) muncul pada “Sebagai burung//Aku pun rela” yang terjadi karena “Aku-lirik” merupakan burung maka dia harus rela disangkarkan dan ditenggerkan. Disebut metafora-pernyataan karena komposisinya sudah memenuhi sebagai preposisi, yaitu minimal dibangun atas unsur subjek sebagai identifikasi tunggal “sebagai burung” dan unsur prediksi-umum sebagai prediksi “aku pun rela”, sedangkan “kau sangkarkan dan kau tenggerkan” sebagai unsur penjelas.

“Sebagai burung” menggabungkan dua dunia yang berbeda (diference) yang absurditas dalam keserupaan (resemblance). “Burung” merupakan hewan unggas yang bisa terbang dan hidup, tidak bisa menulis dan berkarya. Sedangkan kata “sebagai” disini merupakan kata yang memunculkan statement bahwa “Burung” sebagai manusia “Aku-lirik” yang bisa menulis dan berkarya.

Pemaknaan dalam bait ini mengibaratkan burung yang bukan manusia sebagai manusia “Aku-lirik” hal yang sama juga terdapat pada sajak “Diam Mawar” pada baris 5, 6 dan 7 “mawar bersujud // biarlah aku tinggal diam // diutuhkan cintamu” mawar disini di interpretasikan sebagai manusia yang bersujud (berserah diri). Kedua puisi yang berbeda judul ini membicarakan berserah diri, menyembah dan taat kepada Allah SWT. “Dan bertawakalah kepada (Allah) yang maha perkasa lagi maha penyayang.”(Asy-Syuara: 217),8 dan Dalam surat Al-Fatihah ayat kelima “Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in(u)”. Artinya: Hanya kepada engkaulah kami menyembah dan hanya kepada engkaulah kami mohon pertolongan.

(2)

Di atap

Rumah.

Atau di ketinggian.

Pada baris ke 4, 5 dan 6 bait kedua menunjuk pada atribusi keterangan tempat yang menjadi jawaban dimana kalimat bait pertama. Baris ketiga “Kau sangkarkan dan kau tenggerkan” jawabannya “Di atap // Rumah // Atau di ketinggian”. Hal seperti ini menurut Riccoeur merupakan metafota-kata (word-metapor), yang bisa disebut sebagai metafora mati atau bukan metafora sebenarnya karena tidak ada perluasan makna pada tataran kalimat dan wacana.

Jawaban yang menunjuk pada keterangan tempat dari bait pertama semakin kuat dan jelas pilihan jawaban setelah diperkuat oleh lanjutan bait, yaitu pada bait ketiga pada baris 7, 8 dan 9 yang menjadi opsi pilihan selanjutnya.

(3)

Sebatang bambu

Atau di dahan

Hatimu.

Pada bait ketiga baris 7, 8 dan 9 tetap mempunyai kedudukan sebagai jawaban dari kalimat baris ketiga bait pertama. “Kau sangkarkan dan kau tenggerkan” sebagai unsur keterangan tempat, namun pada baris kedua bait ketiga yaitu “di dahan” mengandung metafora-kata. Di dahan menunjuk pada arti ditempat yaitu dalam pohon, ranting, cabang yang intinya pada benda bagian dari pohon atau tumbuhan. Hal ini berbeda setelah digabungkan dengan baris selanjutnya “hatimu” arti dalam pohon berubah menjadi dalam hati. Dari hal ini terjadi metafora-kata yang mengibaratkan hati mempunyai dahan. Khalayaknya dahan merupakan bagian dari pohon dan hati merupakan bagian dari organ manusia yang secara sadar tidak ada hubungan yang terkait, dan kata “mu” menunjuk pada Allah SWT.

Dengan demikian dalam bait ini dan bait sebelumnya menciptakan kesan atau efek atas sesuatu yang menjadi “subjek pokoknya” yaitu ketakwaan dan tawakal kepada Allah SWT. Seperti dalam Al-Qur’an Katakanlah: jika kamu benar-benar mencintai Allah, maka ikutlah aku, niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Ali Imran: 31).9

Bentuk yang menunjuk sebagai keterangan dan jawaban seperti ini banyak ditemukan dalam kumpulan puisi “Rumah Cahaya” seperti pada sajak berjudul “Kasidah Dari Negeri Hijau” pada baris ke 2 dan 4 dalam bait pertama “Di mana matahari membiaskan impian//impian pelangi. Hingga cakrawala” dalam kutipan sajak ini “Hingga carawala” merupakan keterangan tempat dimana merupakan jawaban dari pertanyaan “Di mana matahari membiaskan impian”.

(4)

Sebab ada yang lebih kekal

Dari kebebasan yang fana

Baris 10 dan 11 dari bait terakhir dari sajak “Burung” diatas menunjuk pada suatu proposisi yang terbentuk atas unsur identifikasi atas “Sebab ada yang lebih kekal” muncul sebagai identifikasi-singular; “kebebasan” sebagai prediksi universal; “yang fana” sebagai atribusi-keterangan. Kekal adalah abadi dan fana adalah kehidupan di dunia ini. Menunjuk juga pada proposisi-perbandingan yang terbentuk atas kata “dari” disini membandingkan antara kehidupan di dunia dan akherat nantinya (surga atau neraka). Kehidupan ahkerat yang kekal dan kehidupan dunia yang fana. Dalam bait ini “Aku-lirik” mengungkapkan kesadaran transcendental mengenai konsep kehidupan nantinya, yaitu kesadaran bahwa kehidupan setelah di dunia nantinya akan lebih kekal. Kehidupan yang kekal itu mempunyai dua opsi neraka dan surga. Neraka tempat yang panas, penuh dengan siksaan lebih yang merupakan imbalan bagi orang-orang yang mempunyai amal perbuatan buruk selama di dunia sementara surga merupakan tempat yang indah, sejuk dan penuh dengan imbalan balasan kehidupan yang lurus di dunia.

Dalam Al-Qur’an banyak dijelaskan mengenai surga dan salah satu kunci masuk surga adalah beriman. “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman” (QS. Al Mu’minun : 1) dan pada ayat lain “Dan sampaikanlah berita gembira kepada mereka yang beriman dan berbuat baik, bahwa bagi mereka disediakan Surga-Surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Setiap mereka diberi rezki buah-buahan dalam Surga-Surga itu, mereka mengatakan: “Inilah yang pernah diberikan kepada kami dahulu.” Mereka diberi buah-buahan yang serupa dan untuk mereka di dalamnya ada isteri-isteri yang suci dan mereka kekal di dalamnya” (Al Baqarah (Sapi betina) : 25). Siapa yang tidak mau, jika beriman balasannya adalah surga? Setiap muslim itu pasti menginginkan derajat yang lebih tinggi dan surga bagi kehidupannya kelak di akhirat. Tapi satu pertanyaan untuk kita, apakah sudah kita beriman kepada Allah dengan sebenar-benar iman yang kita punya? Iman di hati, mulut, dan perbuatan kita? Di dalam Al-Qur an surat Allah berfirman: Artinya; “Sesungguhnya berbahagialah orang yang mensucikan dirinya, dan yang berzikir menyebut nama Tuhannya (Allah) kemudian dia shalat. Tetapi kamu terpengaruh dengan kehidupan dunia, sedangkan kehidupan akhirat jauh lebih baik dan abadi”.10

3.4 Konsep Hamba Alah Dalam Sajak “Burung”

Konsep hamba Allah pada sajak “Burung” berangkat dari kesadaran “Aku-lirik” sebagai hamba Allah (jiwa yang diciptakan oleh Allah SWT.) yang dalam sajak disimbolikan dengan “Burung” sebagai penggantian kata agar pengartian sajak menjadi kabur karena “Burung” hakekatnya bukan manusia. Burung dipersepsikan sebagai hamba Allah yang taat menjalankan dan menjauhi larangannya, sebagai jiwa yang selalu bertawakal.

Kesadaran trandensental “Aku-lirik” dalam sajak “Burung” dalam hubunganya dengan Allah menimbulkan tiga hal kesadaran yaitu: pertama sebagai jiwa yang diciptakan Alloh, maka harus menyukurinya, kedua menjalankan dan menjauhi larangannya, ketiga keyakinan bahwa nantinya akan ada balasan dari apa yang kita perbuat dan nantinya di berikan pada dunia yang kekal (neraka dan surga) sebagai balasan yang setimpal tergantung amal dan perbuatan di dunia yang fana. Seperti apa yang tersirat dalam “Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-Ku (Adz Dzaariyaat: 56)” Sesungguhnya Allah memasukkan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Dan orang-orang yang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka (Muhammad: 12)11

Allah SWT., dalam hal ini diposisikan sebagai dzat yang trandensental, yaitu sesuatu yang terpisah dari diri “jiwa”. Hubungan ini mengindikasikan kesadaran bahwa diri “jiwa ini” adalah hamba dan Tuhan adalah Allah sebagai tuan kita. Hamba adalah burung yang hidup dalam sangkarmu, makan dari rezeki karena kehendakmu dan hamba berserah diri dan tunduk padamu.

2. KESIMPULAN

Penelitian ini menggunakan perspektif hermeneutika Ricoeur. Makna “Burung” pada sajak “Burung” dalam kumpulan puisi “Rumah Cahaya) karya Abdul Wachid BS, merepresentasikan makna sebagai “hamba Allah”. Makna hamba Allah ini dibangun atas wacana yang ada dalam empat bait dalam sajak. Menurut arti sebenarnya burung merupakan hewan unggas namun karena dalam sajak burung, mengacu pada kehidupan sebagai manusia, maka burung merujuk pada arti simbol sebagai “hamba allah”.

Dalam pengartian isi sajak, peran bait melalui baris-baris kata merupakan kunci pokok yang memunculkan anggapan bahwa “Aku-lirik” mengibaratkan kehidupannya seperti burung yang ada dalam sangkar dan selalu berserah pada yang mempunyainya. Jadi makna “Burung” merupakan kesadaran “Aku-lirik” bahwa dirinya merupakan burung (seperti burung). Burung yang rela dan pasrah disangkarkan dan ditenggerkan oleh yang mempunyainya. Khalayaknya burung merupakan hewan yang tidak mempunyai kemampuan untuk menulis dan berkarya, hal itu merupakan kegiatan dan kemampuan yang dimiliki manusia.

Maka kesadaran “Aku-lirik” sebagai burung mengungkap bahwa dirinya merupakan manusia biasa. “Aku-lirik” menyadari bahwa dia bisa hidup karena Allah SWT., maka dari itu dia bertawakal, berserah diri pada Maha Pencipta yang Esa dengan cara menjalankan perintahnya dan menjauhi segala larangannya karena Allah SWT., menjanjikan hidup yang kekal setelah kehidupan yang fana nantinya, dan kehidupan itu nantinya tergantung pada amal perbuatan kita selama hidup di dunia. Surga bagi yang mempunyai amal perbuatan baik dan neraka bagi orang-orang yang mempunyai amal perbuatan buruk selama di dunia.

DAFTAR PUSTAKA

Abdilah, Pius dan Danu Prasetya. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Surabaya : Arkola

Bachrun. 1979. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah.

Kurniawan, Heru. 2009. Mistisisme Cahaya, Cet. 1, Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Pradopo, Rachmat Joko. 2007. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya, Cet . lV, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pradopo, Rahchmat Joko. 2007. Pengkajian Puisi, Cet. 10, Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press.

Wahid B.S., Abdul. 1995. Rumah Cahaya, Cet. Kedua. Yogyakarta: Gama Media.

Wahid B.S., Abdul. 2005. Membaca Makna. Cet. Pertama. Yogyakarta: Grafindo Litera Media.

Zuhri, Muhammad. 1994. Terjemah Juz’ Ama. Jakarta: Pustaka Amani.

WEBSITE

http://id.wikipedia.org/wiki/etimologi-metafora

http://id. Wikimedia. org/wiki/etimologi-symbol

http://id.wikipedia.org/wiki/etimologi-hermeneutika

ENDNOTE

1.Rahchmat Joko Pradopo. Pengkajian Puisi,(Yogyakarta: Gajah Mada Universiti Press, Cet. 10, 2007).lihat hal 315

2.Abdul Wachid BS. Membaca Makna. (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, Cet. 1, 2005). Lihat pada riwayat Abdul Wachid BS. Pada dua lembar terakhir buku.

3. Heru Kurniawan. Mistisisme Cahaya. (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2009). Lihat pada hal 5.

4.Heru Kurniawan. Mistisisme Cahaya. (Yogyakarta: Grafindo Litera Media, 2009). Lihat landasan teori (konsep interpretasi teks Paul Ricoeur, teori symbol dan teri metafora) hal 18-32.

5.Abdul Wachid BS. Rumah Cahaya (Yogyakarta: ITTAKA Press, Cet. 2, 1995). Sajak “Burung” lihat pada hal 79.

6.Abdul Wachid BS. Rumah Cahaya (Yogyakarta: ITTAKA Press, Cet. 2, 1995). Sajak “Diam Mawar” Lihat pada hal 37.

7.Bachrun. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979). (Al-Imron (3):173).

8.Bachrun. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979). (Asy-Syuara: 217).

9.Bachrun. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979). (Ali Imran: 31).

10. Bachrun. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979). (Baqarah (Sapi betina) : 25).

11. Bachrun. Quran Suci Terjemahan dan Tafsir. (Jakarta: Darul Kutubil Islamiyah, 1979). (Muhammad: 12).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar